MENUJU KOTA SEHAT melalui GERAKAN SAYANG IBU
Libatkan Semua Agen Perubahan*
Sejak
diadakan Konferensi Safe Motherhood di Nairobi, Februari 1987, masalah
kematian ibu yang berkaitan dengan kehamilan menjadi persoalan global.
Hal ini disebabkan salah satu indikator utama yang membedakan suatu
negara digolongkan sebagai negara maju atau negara berkembang dapat
dilihat dari rata-rata Mother Mortality Rate (MMR). Rata-rata MMR negara
maju 20 kematian per 100.000 kelahiran. Sedangkan di negara berkembang
440 kematian ibu per 100.000 kelahiran.
Sementara itu dalam buku
UNDP, Human Development Report edisi 1996 tercantum AKI di seluruh dunia
307 per 100.000 kelahiran, yakni 28 untuk negara-negara industri dan
384 untuk negara-negara sedang berkembang. Variasinya besar sekali, dari
0 di Luksemburg dan Malta sampai lebih dari 1.500-100.000 kelahiran di
Bhutan, Afghanistan, dan Sierra Leone. Lantas di mana posisi Indonesia?
Di
buku itu AKI Indonesia diperkirakan 650 per 100.000. Perkiraan resmi di
Indonesia lebih rendah, 425 per 100.000 kelahiran. AKI 425 orang itu
termasuk tinggi, paling tinggi di ASEAN. Vietnam mempunyai AKI 120,
Malaysia 59, dan Singapura 10. Bahkan menurut Deputi Bidang Ilmu
Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), pada tahun 2002 kematian ibu melahirkan masih mencapai 307 per
100.000 kelahiran. Angka 307 ini berarti 31 kali kematian ibu di
Singapura, 5 kali dari Malaysia, dan 2,5 kali dari Vietnam.
Pembahasan
khusus tentang angka kematian ibu di kawasan Asia Tenggara pada 8 – 11
September 2008 lalu di New Delhi India juga menempatkan Indonesia
sebagai salah satu penyumbang terbesar kematian ibu dan anak di kawasan
Asia Tenggara. Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung. Sebanyak 98 persen
dari seluruh kematian ibu dan anak tersebar di India, Bangladesh,
Indonesia , Nepal dan Myanmar.
Padahal tak terbilang usaha untuk
menurunkan angka kematian ibu hamil maternal di Indonesia. Diantaranya
dengan Program Safe Motherhood pada tahun 1988, Gerakan Sayang Ibu pada
tahun 1996, serta Gerakan Nasional Kehamilan yang Aman atau Making
Pregnancy Saver (MPS).
Kematian ibu maternal dan bayi memang
masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan warganya. Merubah paradigma
masyarakat yang masih menggantungkan persalinan ke dukun menjadi salah
satu hal tersulit. Budaya “sudah biasa” yang selama ini melekat
menyebabkan ibu hamil merasa lebih nyaman dan aman menyerahkan proses
persalinan mereka ke tangan dukun. Oleh karena itu dibutuhkan pihak
ketiga sebagai agen perubahan.
Faktor lainnya adalah terbatasnya
akses terhadap pelayanan persalinan. Hal ini diperparah oleh lemahnya
posisi perempuan di lingkungan masyarakat, khususnya di pedesaan, dalam
pengambilan keputusan mengenai masalah kesehatan reproduksinya. Di
banyak daerah perempuan sulit memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi
dirinya dan bayi yang dikandung. Jadi, saat mengalami perdarahan atau
komplikasi saat kehamilan, suami atau tetua adat yang memutuskan kapan
dan di mana ia akan dirawat.
Selain itu banyak ibu hamil
terlambat mencapai sarana kesehatan lantaran tempat tinggalnya jauh dari
tempat pelayanan persalinan. Penyebab lain adalah banyak rumah sakit di
daerah yang tidak memiliki pelayanan transfusi darah sehingga kesulitan
mengatasi masalah perdarahan dan komplikasi persalinan.
Dari
sekian banyak kendala di atas, lantas apakah tidak ada daerah yang telah
berhasil menekan laju kematian ibu selama ini? Tentu ada. Berjarak 390
km dari ibukota Sulawesi Selatan, Kecamatan Wara Utara Kota Palopo
berhasil merubah paradigma masyarakat. Lebih jauh lagi, kecamatan
tersebut sedikit demi sedikit mampu merubah kelemahan menjadi kekuatan.
Adalah
Ansir Ismu, Camat Wara Utara Kota Palopo yang berusaha menekan laju
kematian warganya. Tak dapat di sangkal Kota Palopo menjadi salah satu
daerah di Sulawesi Selatan yang tingkat kematian ibu maternal mengalami
lonjakan dari 17 menjadi 25 orang di tahun 2007. Tak ingin warganya
turut menjadi korban, Ansir Ismu yang sejak tahun 2008 menjabat sebagai
Camat Wara Utara mulai mengerahkan segenap upayanya. Penjabaran program
GSI di Wara Utara disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan wilayah,
kreatifitas, inovasi dan karya yang melibatkan semua komponen
masyarakat.
Pada tahun 2008 penguatan GSI di kecamatan ini makin
diperbesar. Layaknya sebuah organisasi, agen perubahan Wara Utara juga
memiliki struktur. Di tingkat kecamatan dibentuk Satuan Tugas (Satgas)
Sayang Ibu yang diketuai oleh camat. Di tingkat desa/kelurahan dibentuk
Satgas Sayang Ibu, diketuai kepala desa/ketua umum LKMD dengan dua ketua
pelaksana, sekretaris, dan anggota-anggota. Tugas pokok mereka adalah
menghimpun data tentang ibu hamil dan bersalin, memberikan penyuluhan,
dan mengumpulkan dana untuk ambulans desa serta tabungan ibu bersalin.
Salah
satu hal yang menarik, di Wara Utara, para ketua satgas GSI dan
pengurus inti di semua kelurahan di dominasi kaum bapak yang berarti
adanya pelibatan kaum lelaki dalam gerakan ini. Keterlibatan mereka
tentunya diharapkan berujung pada kepedulian kepada kaum ibu.
Agen
perubahan lainnya adalah dukun (sanro). Sebanyak dua sanro di Wara
Utara pun dirangkul dan dilibatkan dalam proses persalinan bayi. Dukun
tidak dilihat sebagai
kompetitor, tetapi dijadikan mitra bidan.
Langkah-langkah
berikutnya adalah satgas GSI bekerja sama dengan pelatih senam untuk
melatih ibu-ibu hamil. Tujuannya tidak lain agar kesehatan ibu hamil
dapat terus terjaga dan terpantau oleh satgas. Satgas GSI juga membentuk
kelompok keluarga sadar hukum GSI yang anggota-anggotanya terdiri dari
kelompok dasawisma, karang taruna, remaja mesjid, dan remaja gereja.
Selain itu partisipasi warga dalam GSI juga ditingkatkan melalui
pembentukan Pondok Sayang Ibu yang dapat digunakan oleh ibu hamil yang
waktu melahirkannya sudah dekat sementara jarak rumahnya jauh dari pusat
pelayanan kesehatan.
Beberapa upaya lainnya adalah membuat
kerjasama MoU antara satgas GSI dengan beberapa pelaku bisnis guna
mendukung GSI. Salah satu point kerjasama tersebut adalah pengusaha
dengan biaya sendiri memasang brosur himbauan dan spanduk GSI di
tempat-tempat yang mudah terlihat oleh para pelanggan. Bahkan, Stasiun
Pengisian Bahan bakar untuk Umum (SPBU) yang berada di Kecamatan Wara
Utara juga tidak luput dari pengamatan satgas GSI. Di tempat ini satgas
menyediakan kotak amal GSI yang diletakkan di lokasi strategis yang
memudahkan pengendara melihatnya.
Komunikasi Informasi
Masyarakat (KIM) juga diberdayakan oleh satgas sebagai alat sosialisasi
sekaligus alat informasi GSI dengan cara membuat buletin, kliping,
berdiskusi, dan memberikan informasi. Selain itu satgas juga membentuk
ojek dan becak GSI untuk mengantar ibu hamil. Tak cukup hanya ojek dan
becak, warga setiap kelurahan pun dengan sukarela menyiapkan kendaraan
untuk ibu hamil sekaligus menjadi donor darah siaga.
Tak berhenti
sampai di situ, Ansir Ismu juga bekerja sama dengan Kepala KUA dan
Ketua forum LPMK Wara Utara membentuk program triangle lovely (kasih
sayang 3 sisi) yaitu pelaminan menuju GSI. Pada program ini, setiap
pasang pengantin yang memiliki tingkat perekonomian yang memadai akan
diminta partisipasinya membantu program GSI. Jumlah nominal tergantung
kerelaan sang calon pengantin.
Dunia pendidikan juga disasar oleh Camat yang sebelumnya juga pernah
menjadi orang nomor satu Kecamatan Wara. Dinas Pendidikan pun merespon.
Pemahaman dini GSI di sekolah-sekolah, terutama di sekolah dasar mulai
diperkenalkan. Peran serta sekolah, terutama sekolah dasar, dalam
mendukung program GSI terlihat nyata karena mulai dari pintu masuk,
tembok sekolah, hingga pintu kelas terpasang spanduk dan pamflet GSI.
Kerjasama tersebut juga terlihat dari kesediaan para guru menjelaskan
program GSI kepada murid sebelum pelajaran di mulai. Bahkan beberapa
guru dengan antusiame menciptakan mars GSI :
………………………………………..
Kami putra dan putri Palopo
Sayang ibu menjadi tekadku
Walau apapun jadi tantangan
Sayang ibu takkan luntur
………………………………………...
Dengan
beragam kreatifitas di Kecamatan Wara Utara di atas, lantas di mana
partisipasi Pemerintah Kota Palopo sendiri? Kecamatan Wara Utara tentu
saja tidak bergerak sendiri. Guna mendukung GSI ini, Walikota Palopo
H.P.A. Tenriadjeng dan jajaran pejabat kota lainnya turun tangan dengan
melakukan siaran langsung menyebarkan informasi GSI di beberapa radio
swasta lokal. Bahkan, pemerintah kota berhasil melakukan kerjasama
dengan tiga sekolah tinggi ilmu kesehatan dan perguruan tinggi dalam
upaya meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat di bidang
kesehatan. Tidak hanya itu, pemerintah kota juga memperkuat regulasi
kesehatan melalui terbitnya Perda Kota Sehat yang merupakan perda kota
sehat pertama di Indonesia.
Kerjasama harmonis antar pemerintah
kota, pemerintah kecamatan, agen perubahan, dan masyarakat tidak
sia-sia. Terbukti angka kematian ibu dapat ditekan secara drastis. Dari
25 orang angka kematian ibu di tahun 2007, kota yang berpenduduk 141.996
jiwa ini berhasil menekan kematian ibu menjadi 4 jiwa di tahun 2008 dan
akhirnya zero percent di tahun 2009. Tepatlah kata pepatah Bugis “
Iya Ada Iya Gau” yang berarti Satu Kata Satu Perbuatan. GSI di Palopo bukan hanya pada ucapan tapi juga pada perbuatan.